advertisements
advertisements
JOGJA MagzRegional

Merawat Kesiapsiagaan Masyarakat Tangguh Bencana di Pesisir Selatan Yogyakarta

×

Merawat Kesiapsiagaan Masyarakat Tangguh Bencana di Pesisir Selatan Yogyakarta

Sebarkan artikel ini
Kawasan Pantai Baron di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta yang berada di Pesisir Selatan. (dok. wikipedia.org)

Ada sebuah desa yang cantik bernama Kelurahan Karangwuni. Lokasinya berada di Kapanewon Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Secara geografis, lokasi desa ini berada di pesisir selatan dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Kecantikan dari Kelurahan Karangwuni ini tak lepas dari menjamurnya spot wisata di sepanjang garis pantai.

Sebut saja Pantai Glagah, Pantai Krida, Pantai Palma, Pantai Raziman dan lainnya.

Pantai di Kelurahan Karangwuni itu menjadi pilihan terbaik untuk menikmati sunset atau matahari terbenam.

Oleh karena itu, berada di wilayah pesisir, sebagian besar masyarakat Kelurahan Karangwuni berprofesi sebagai nelayan, meski sebagian ada juga petani, pedagang, pegawai swasta hingga pegawai pemerintah.

Sebagai desa maritim, penduduk Karangwuni tentu saja sudah terbiasa dihadapkan laut selatan yang terkenal dengan ombaknya yang ganas.

Hal itu tidak terlepas dari dongeng legenda Nyi Roro Kidul digadang-gadang menjadi sosok di balik keganasan Pantai Selatan Jawa itu.

Begitulah mitos laut kidul, konon siapa saja tidak boleh sembarangan jika berada di sana.

Ada hal-hal yang harus dipatuhi. Itu berlaku bagi siapapun, baik warga sekitar maupun wisatawan atau pendatang baru.

Di balik dari fenomena itu, sebenarnya ada temuan sains yang harus disikapi dengan bijak, yang jelas, hal itu tidak bisa disangkutpautkan dengan mitos penguasa laut Selatan tadi.

Dari ilmu sains, wilayah Selatan Jawa memiliki potensi sesar megathrust yang membentang dari wilayah Banten hingga Banyuwangi di Jawa Timur.

Sesar atau patahan itu merupakan bagian dari apa yang disebut Ring of Fire.

Jika ditarik garis, patahan itu sebenarnya membentang dari Barat Sumatra, Selatan Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Filipina, Jepang dan seterusnya.

Patahan itu menurut para ahli berpotensi memicu terjadinya gempa bumi dan dapat mentriger gelombang tsunami.

Namun, kapan waktunya akan terjadi fenomena alam itu hingga saat ini belum dapat dipecahkan oleh sains.

Dari temuan sains itu, pemerintah kemudian mengambil kebijakan untuk memperkuat mitigasi, kesiapsiagaan masyarakat dan peringatan dini berbasis ekologi dan teknologi sebagai solusi dan antisipasi jangka panjang.

Hal itu wujudkan dengan pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana) yang diprakarsai oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak tahun 2019.

Melalui program Destana, masyarakat dilatih untuk mempersiapkan diri mulai dari peningkatan kapasitas, mitigasi hingga memahami konsep peringatan dini.

Program Destana itu sekaligus menjadi kolaborasi dan sinergi positif antara pemerintah dan masyarakat demi menciptakan manusia tangguh bencana.

Sejak program Destana masuk ke Kelurahan Karangwuni, masyarakat berangsur-angsur memahami adanya potensi ancaman bencana dari laut Selatan.

Kabar baiknya, masyarakat kini sudah semakin memahami bagaimana konsep hidup berdampingan dengan alam di mana di dalamnya ada konsekuensi besar yaitu potensi risiko bencana.

Pada hari Kamis (27/6), Letjen TNI Suharyanto yang membawa bendera BNPB mendatangi Kelurahan Karangwuni untuk memastikan bahwa kesiapsiagaan masyarakat yang telah dibentuk melalui program Destana masih terjaga dengan baik.

Dia tidak sendiri. Deputi Bidang Pencegahan BNPB Prasinta Dewi dan Direktur Kesiapsiagaan BNPB Pangarso Suryotomo mendampinginya di tengah masyarakat dan relawan yang tergabung dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) se-Kabupaten Kulon Progo.

Penjabat Bupati Kulon Progo Srie Nurkyatsiwi juga turut hadir, tentunya bersama jajaran Forkopimda di bawah komandonya.

Dalam forum itu, Suharyanto menjelaskan pengetahuan masyarakat terkait dengan fenomena sesar tadi.

Menurutnya, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) banyak sekali dilalui sesar yang sudah terdeteksi maupun yang belum.

Sebagai contoh, gempa bumi dengan magnitudo 5,6 di Cianjur yang terjadi pada November 2022 itu dipicu oleh sesar yang keberadaannya baru terdeteksi. Tim ahli dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Riset Nasional (BRIN) kemudian menamai patahan tersebut dengan sebutan Sesar Cugenang, karena lokasinya berada di Desa Cugenang.

“Gempa Cianjur itu sesarnya baru. Muncul di Desa Cugenang. Makanya dinamakan Sesar Cugenang. Kemudian gempa bumi di Sumedang. Itu juga baru,” jelas Suharyanto.

Dari keberadaan sesar aktif, baik yang sudah maupun yang belum terpetakan itu, Kepala BNPB mengingatkan bahwa potensi risiko bencana gempa bumi tetap menjadi hal yang harus diwaspadai bersama.

Terlebih wilayah Kulon Progo masuk dalam wilayah yang memiliki potensi dampak risiko bencana seperti daerah lain.

Oleh sebab itu, Kepala BNPB menilai upaya kesiapsiagaan menjadi hal yang penting untuk selalu ditingkatkan.

“Termasuk Kulon Progo itu sesar yang jelas-jelas aktif dan berpotensi megathurst. Kejadian seperti di Aceh, Padang, Mentawai, Palu hingga Sendai di Jepang itu bisa terjadi di tempat kita ini. Karena itu BNPB memandang sangat penting upaya kesiapsiagaan,” tuturnya.

Sebagai upaya membentuk masyarakat yang tangguh bencana, BNPB berkolaborasi dengan kementerian/lembaga lain, seperti BMKG, BRIN termasuk unsur TNI dan Polri.

Ada dua hal itu menjadi bagian yang tidak boleh dipisahkan. Tanda-tanda alam maupun informasi peringatan dini bagi sebagian orang masih menjadi pertanyaan.

Jika pemahaman masyarakat dan perilaku tidak dalam satu rangkaian, maka hal itu dapat memperbesar risiko bencana.

“BMKG membeli dan memasang alat agar masyarakat bisa tahu duluan. Aceh waktu itu masyarakatnya tidak mengerti ketika setelah terjadi gempa bumi lalu air laut surut. Mereka turun ke laut untuk mengambil ikan. Tiba-tiba tsunami datang,” katanya.

Suharyanto menambahkan, tugas BNPB menyiapkan masyarakatnya. Makanya dibentuklah Destana pada 180 desa.

“Kalau selamat semua ya berarti berhasil. Harus ada parameternya. Makanya saya keliling melihat sampai sejauh mana program itu dapat dilaksanakan dengan baik,” ungkapnya. BIG

 

Facebook Comments Box