Indeks Inklusi Keuangan di masyarakat tercatat sekitar 80,51%, sedangkan Indeks Literasi Keuangan sekitar 66,46%.
Artinya ada gap sekitar 14,05% yang menjadi tantangan perlindungan konsumen dan masyarakat di sektor keuangan.
menurut Kepala Direktorat Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jawa Barat Yuzirwan, yang paling penting dari literasi keuangan bukan sekadar memahami istilah finansial, tetapi juga mencakup kemampuan mengelola pemasukan dan pengeluaran, serta keberanian mengambil keputusan finansial yang bijak.
“Itulah pentingnya edukasi dan literasi,” katanya dalam diskusi bersama jurnalis di Bandung, Rabu baru – baru ini.
Yuzirwan mengungkapkan, fenomena dan permasalahan yang terjadi di masyarakat salah satunya godaan terkait bahaya pinjaman online (pinjol) ilegal.
Adapun poin penting dan perbedaan paling mencolok fintech lending atau pinjaman online ilegal, yakni tidak memiliki izin resmi dan tidak terdaftar, serta diawasi OJK.
“Karena tidak memiliki izin, OJK tidak bisa masuk memberikan perlindungan kepada konsumen, tidak bisa mengawasi dan memberikan sanksi kepada fintech bersangkutan. Jatuhnya kalau ada masalah menjadi penipuan dan masuknya jadi ranah pidana di kepolisian,” jelasnya.
Masih minimnya pemahaman publik terkait literasi keuangan, banyak terjadi modus – modus kejahatan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab melalui digitalisasi yang merugikan konsumen dan masyarakat.
Selain itu, fenomena Bank Emok, lanjut Yuzirwan, membuat banyak di masyarakat menyamakan antara pemberian kredit berkelompok yang dilakukan oleh lembaga keuangan formal dan berizin dengan pembiayaan penyaluran oleh lembaga atau perorangan yang tidak berizin.
“Fenomena dan permasalahan tersebut merupakan yang saat ini banyak muncul dan terjadi di masyarakat yang bersumber dari pengaduan konsumen dan masyarakat ke OJK, serta temuan di lapangan pada saat kegiatan edukasi kepada masyarakat,” ungkap Yuzirwan.
Sebagai upaya pencegahan, dia menegaskan pemberian edukasi yang memadai dengan mengedepankan nilai dan aksi edukatif dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat dan konsumen menjadi hal krusial.
Widyaiswara Ahli Madya Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Provinsi Jawa Barat Hesti Pangastuti menyebutkan masih banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Jawa Barat yang belum memahami literasi keuangan secara mendalam.
“Terkait masalah pembiayaan UMKM, yang menjadi tantangan atau PR itu mereka belum bisa memisahkan uang bisnis dengan uang rumah tangga,” kata Hesti.
Kurangnya pemahaman ini, lanjutnya, membuat banyak pelaku usaha kesulitan saat mencari modal untuk pengembangan bisnis.
Dalam situasi tersebut, mereka cenderung memilih jalur cepat melalui pinjaman, meskipun menghadapi hambatan saat mengakses pembiayaan dari lembaga perbankan.
Kesulitan memenuhi syarat perbankan membuat sebagian UMKM memilih pinjaman online sebagai alternatif, tetapi tidak jarang mereka justru terjebak pada pinjaman online ilegal.
“Sebagai salah satu solusinya, saat ini ada program kredit untuk UMKM, seperti Kredit Caang untuk memberi akses pinjaman kredit selama satu tahun dengan subsidi bunga atau bunga ringan, yang sebetulnya merupakan hasil obrolan dengan sejumlah UMKM yang terjerat pinjaman online ilegal,” jelasnya.
Sementara itu, akses tanpa pemahaman kerap membuat masyarakat menjauh dari layanan keuangan formal.
Oleh karena itu, Hesti menambahkan, pendekatan yang personal, kontekstual dan berbasis komunitas menjadi kunci literasi yang efektif. BIG